Kepala Arsip Nasional Djoko Utomo Soal Supersemar

“Kami Pernah Tanya Jenderal Nasution”

VIVAnews - Surat Perintah Sebelas Maret yang sohor dengan akronimnya Supersemar, ramai lagi dibicarakan. Surat  yang dianggap pengalihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto itu beredar di internet. Hal ini menarik minat banyak orang, sebab hingga kini versi asli  surat  itu masih gelap gulita.

Tindak Lanjuti Aduan Masyarakat, Bea Cukai Kediri Gagalkan Peredaran Rokok Ilegal

Kepala Arsip Nasional, Djoko Utomo,menegaskan bahwa  aktif memburu surat asli Supersemar itu sejak beberapa tahun silam. Tapi hingga kini tak kunjung ditemukan. Tim dari Arsip Nasional sudah bertanya kepada beberapa pelaku sejarah seperti Nasution, Amir Machmud dan sejumlah tokoh lain, tapi hasilnya nihil.

Bagaimana tim itu memburu surat yang kemudian pemangku kekuasaan Soeharto selama 32 tahun. Berikut petikan wawancara VIVAnews dengan Djoko Utomo. Wawancara dilakukan lewat telepon siang hari ini, Senin 1 Desember 2008.

Tokoh Pendidikan Indonesia Jadi Pembicara di Forum Perempuan Dunia di Markas PBB

Bagaimana  cara kerja Arsip Nasional  menelusuri naskah asli Supersemar?

Kami terus menerus menelusuri dan tidak pernah berhenti.  Setiap informasi yang masuk kami tindak lanjuti. Begitu juga informasi dari internet itu tetap kami perhatikan. Tapi yang diinformasikan di berita-berita internet itu kan bukan aslinya, hanya dimasukkan di internet (foto kopi). Kami tidak mengejar foto kopi versi internet tapi mencari aslinya.

Tropical Cyclone: Knowing Cause of Indonesian Extreme Weather

Lembaga kami mencari arsip yang memenuhi syarat ontentik, dapat dipercaya, dan legal. Apakah data itu bentuknya kertas, visual, atau elektronik. Tetapi, itu harus memenuhi syarat  itu. Misalnya arsipnya berbentuk kertas, ya, harus ada tanda tangannya. Termasuk Supersemar.

Kalau dia dapat dikatakan otentik, informasinya melekat terus pada wujud atau medium aslinya. Jadi, kalau mediumnya kertas, maka Supersemar yang kami cari itu yang melekat terus pada medium aslinya. Kertas. Bukan pada internet.

Seperti teks Proklamasi, itu hanya ada di Arsip Nasional. Sedangkan yang diketik Sayuti Melik itu hanya ada di Sekretariat Negara.
Sementara teks Supersemar yang ramai diberitakan di internet itu tidak  bisa uji. Kami mesti menemukan aslinya.  Karena keaslian Supersemar melekat pada teks,pada kertas.

Kami sangat yakin, Supersemar itu ada. Tapi arsip yang sebenarnya kami belum lihat. Yang sekarang beredar itu yang kopi, stensilan. Kalau sudah seperti itu kami tentu tidak akan menganalisis.

Pernah ada kasus begini. Ditemukan catatan harian Hitler. Tapi kemudian itu diragukan. Setelah itu dites. Ternyata mediumnya kertasnya itu dibuat tahun 1955 atau sepuluh tahun setelah Hitler meninggal. Yang seperti ini  palsu.

Nah, yang ramai diberitakan itu adalah Supersemar yang  beredar di internet. Saya tidak tahu, darimana sumber di internet itu.

Sejak kapan Arsip Nasional menelusuri Supersemar?

Kalau merunut ke belakang, tentu sudah cukup lama. Ketika Jenderal Besar, Pak Nasution (A.H. Nasution) masih hidup, kami sudah mulai menanyakannya. Mengapa kami bertanya pertama ke Pak Nasution, karena dulu beliau yang mengukuhkan Supersemar itu. Kami datangi Pak Nasution, kami uprek-uprek (cari-cari) MPRS. Tapi, enggak ketemu.

Dulu, ketika Pak Amir Machmud masih hidup juga kami tanyakan. Waktu itu kami datangi beliau. Unit sejarah lisan kami ingin wawancara beliau. Dan Pak Mahmud sudah menyanggupi waktunya. Tapi, sebelum berhasil diwawancara beliau wafat.

Kemudian, kami juga mencari ke pak Yusuf (Jenderal M. Yusuf) sampai pak Harto (mantan Presiden RI Soeharto).

Pada waktu Pak Yusuf keluarkan memoarnya, di situ ada Supersemar. Tapi, itu bukan aslinya. Itu kopinya.

Pendek kata, penelusuran itu terus dilakukan sampai sekarang. Tapi belum ditemukan. Tapi kami tetap yakin, arsip itu ada.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya