UU Keterbukaan Informasi Publik

UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik disahkan pada 3 April 2008 dalam rapat paripurna DPR yang dipimpin Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar. UU ini disetujui semua fraksi yang ada di DPR, namun dengan catatan keberatan (minderheidnota) dari FKB karena tidak langsung berlaku, melainkan dua tahun setelah disahkan, dengan alasan memberi waktu pada Pemerintah untuk mempersiapkan pranata dan kelengkapan peleksanaan UU ini, antara lain Komisi Informasi, Peraturan Pemerintah dan yang lain. RUU ini adalah usulan Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Rancangan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (RUU KIP) disahkan dalam rapat paripurna DPR 3 April 2008. UU ini diharapkan dapat memberikan jaminan hukum kepada publik untuk mendapatkan informasi mengenai kebijakan yang dibuat oleh pemerintahan, dapat menjadi pembuka jalan bagi terwujudnya clean and good governance, sehingga meminimalkan bahkan menghilangkan praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Selain itu UU KIP menjadi instrumen penting bagi terwujudnya demokrasi yang sedang dibangun.

Dalam perjalanannya, UU KIP, pada awalnya bernama RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP) dan merupakan usul inisiatif DPR yang mulai dibahas sejak tahun 2001. Pada akhir 2002 Pansus DPR menyelesaikan draftnya. Draft RUU tersebut kemudian dikirim kepada Pemerintah. Namun sampai berakhirnya masa jabatan DPR periode 1999-2004 Amanat Presiden (Ampres) untuk pembahasan belum juga terbit. DPR periode 2004-2009 kembali mengirimkan draft RUU KMIP kepada Pemerintah. Baru pada sekitar pertengahan akhir 2005 keluarlah Ampres sekaligus Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU KMIP versi Pemerintah.

Pembahasan RUU KMIP efektif dilakukan pada bulan Mei 2006. DIM yang disusun Pemerintah secara prinsip banyak yang bertentangan dengan draft dari DPR. Hal ini mengakibatkan terjadi perdebatan panjang yang berujung pada kesepakatan-kesepakatan yang bersifat kompromis. Klausul-klausul hasil kompromi ini dikhawatirkan dalam implementasinya akan mengganggu keterbukaan itu sendiri.

Salah satu hal yang diperdebatkan adalah judul. Pemerintah berkeberatan dengan judul yang diusulkan DPR, sebab kata “kebebasan” identik dengan liberal yang mengarah pada anarkis. Pemerintah mengusulkan agar judul RUU menjadi Hak Warga Negara untuk Memperoleh Informasi. DPR berpendapat bahwa judul yang diajukan oleh Pemerintah seolah akan mendistorsi kewajiban badan publik, sehingga UU ini hanya mengatur hak warga negara tanpa mengatur kewajiban badan publik untuk memenuhi hak tersebut. Kesepakatannya adalah merubah judul menjadi RUU KIP.

Masalah kedua yang diperdebatkan adalah badan publik. Badan publik yang dimaksud badan publik dalam draft RUU rumusan DPR adalah seluruh penyelenggara negara baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif yang pembiayaannya berasal dari anggaran negara, baik di tingkat pusat maupun daerah. Ini termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Namun, Pemerintah menentang dimasukkannya BUMN sebagai bagian dari badan publik dengan alasan bahwa keterbukaan BUMN hanya akan mempengaruhi daya saing (competitiveness) mengingat BUMN adalah lembaga yang menjalankan aktivitas bisnis. Anggapan Pemerintah bahwa BUMN murni sebagai entitas bisnis, namun bagi DPR, BUMN merupakan bagian dari lembaga penyelenggaraan negara dengan alasan bahwa BUMN menggunakan dana APBN dan aktivitasnya mengemban amanat konstitusi dalam mengelola sumber-sumber daya negara demi kesejahteraan umum. Oleh karena itu, akuntabilitas BUMN harus dapat dipertanggungjawabkan. Kesepakatan akhir antara DPR dan Pemerintah adalah tidak mencantumkan secara eksplisit BUMN dalam definisi badan publik, namun dicantumkan dalam pasal tersendiri yang mengatur tentang kewajiban BUMN untuk menyediakan berbagai informasi yang semestinya terbuka kepada publik.

Masalah ketiga yang diperdebatkan adalah Komisi Informasi (KI). Pemerintah menolak usul DPR yang menginginkan dibentuknya KI. KI sebagai lembaga independen yang akan berfungsi menyelesaikan persoalan jika ada sengketa antara badan publik dan peminta informasi. Menurut Pemerintah, pembentukan dan keberadaan KI hanya akan memboroskan anggaran negara. Akan tetapi, menurut DPR  implementasi UU ini tidak akan berjalan optimal tanpa adanya KI. Tanpa adanya KI, dikhawatirkan badan publik tetap akan sewenang-wenang dalam melayani permintaan informasi. Pemerintah akhirnya sepakat dengan keberadaan KI, dengan catatan adanya unsur pemerintah dalam keanggotaannya. Ini ditunjukkan adanya klausul yang mengatur tentang anggota KI terdiri dari unsur masyarakat dan unsur Pemerintah. DPR menerima tawaran Pemerintah ini dengan syarat bahwa proses rekrutmen calon anggota KI terbuka kepada publik dan seluruh calon anggota KI diseleksi oleh DPR melalui fit and proper test dan syarat bahwa unsur pemerintah itu bukanlah ex officio tetapi orang yang sanggup bekerja penuh waktu dalam KI.

Masalah keempat adalah ketentuan sanksi bagi siapa saja yang menyalahgunakan informasi publik. DPR dan Pemerintah pada awalnya menyepakati klausul yang menyatakan bahwa setiap orang yang menyalahgunakan informasi publik dapat dikenai pidana penjara 2 tahun dan/atau denda Rp30 juta. Kemudian sejumlah kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Kebebasan Informasi menyatakan bahwa klausul tersebut tidak logis, sebab yang dimaksud dengan informasi publik sudah pasti terbuka, sehingga asumsinya adalah semua orang pasti sudah mengetahuinya. Sanksi ini hanya akan membuat seseorang takut untuk meminta informasi kepada badan publik karena khawatir menyalahgunakan informasi jika di kemudian hari ada pihak yang tidak suka dengan beredarnya informasi tersebut. Konsekuensinya, pihak yang berpotensi terjerat oleh pasal ini adalah jurnalis. DPR menyepakati usulan Koalisi ini, tetapi Pemerintah tidak dengan alasan keadilan, sebab jika ada sanksi bagi badan publik, mengapa tidak ada sanksi bagi pengguna informasi. Kesepakatan akhir adalah DPR menyetujui adanya sanksi bagi pengguna informasi, dengan perubahan rumusan, yaitu frasa “penyalahgunaan informasi” diubah menjadi “menggunakan informasi secara melawan hukum”. Selain itu hukumannya diturunkan menjadi 1 tahun untuk pidana penjara dan Rp5 juta untuk denda.

Secara umum UU KIP telah mengakomodir kepentingan publik dalam melakukan kontrol terhadap jalannya penyelenggaraan negara. Badan-badan publik diberikan kewajiban untuk melayani informasi bagi publik, sehingga badan publik juga tidak bisa secara sepihak untuk menghalangi permintaan informasi dengan dalih rahasia negara, sebab kategori-ketegori informasi yang dirahasiakan, telah dijabarkan dalam pasal tentang pengecualian informasi. Dengan UU KIP, monopoli informasi oleh badan publik tidak akan terjadi lagi. Dan jika di kemudian hari terdapat badan publik yang menolak memberikan informasi publik, maka badan publik yang bersangkutan dapat diadukan kepada KI, atau bahkan dapat diajukan ke pengadilan untuk dikenai sanksi.

Pasal penting UU KIP:

Drama 4 Gol Lawan Madura United, Dewa United Jaga Asa Tembus Championship Series

Pasal 17
Setiap badan publik wajib membuka akses bagi setiap pemohon informasi publik untuk mendapatkan informasi publik, kecuali:
Pertama, informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada pemohon dapat menghambat proses penegakan hukum.
Kedua, informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepad apemohon dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat.
Ketiga, informasi yang apabila dibuka dan diberikan kepada pemohon dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara.
Keempat, informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada pemohon dapat mengungkapkan kekayaan alam Indonesia.
Kelima, informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada pemohon, dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional.
Keenam, informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada pemohon, dapat merugikan kepentingan hubungan luar negeri.
Ketujuh, informasi yang apabila dibuka dpaat mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang.
Kedelapan, informasi yang apabila dibuka dan diberikan kepada pemohon dapat mengungkapkan rahasia pribadi.
Kesembilan, memorandum atau surat-surat antar badan publik atau intra badan publik, yang menurut sifatnya dirahasiakan kecuali atas putusan Komisi Informasi atau pengadilan.
Kesepuluh, informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan UU.

Pasal 51
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan informasi publik secara melawan hukum dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan/atau denda paling banyak Rp5 juta.

Pasal 52
Badan publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan, dan/atau tidak menerbitkan informasi publik berupa informasi publik secara berkala, informasi publik yang wajib diumumkan secara serta-merta, informasi publik yang wajib tersedia setiap saat, dan/atau informasi publik yang harus diberikan atas dasar permintaan sesuai dengan UU ini, dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain dikenakan pidana kurungan paling lama satu haun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5 juta.

Pasal 53
Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak, dan/atau menghilangkan dokumen informasi publik dalam bentuk media apa pun yang dilindungi negara dan/atau yang berkaitan dengan kepentingan umum dipidana dengan pidana penjara paling pala dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp10 juta.

Pasal 54
Ayat (1), setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengakses dan/atau memperoleh dan/atau memberikan informasi yang dikecualikan yang diatur dalam Pasal 17 huruf a, d, f, g, h, i, dan j dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan pidana denda paling banyak Rp10 juta.
Ayat (2), setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengakses dan/atau memperoleh dan/atau memberikan informasi yang dikecualikan yang diatur dalam Pasal 17 huruf c dan e, dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan pidana denda paling banyak Rp20 juta.

Pasal 55
Setiap orang yang dengan sengaja membuat informasi publik yang tidak benar dan menyesatkan dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan/atau denda paling banyak Rp5 juta.

Pasal 56
Setiap pelanggaran yang dikenai sanksi pidana dalam UU ini dan juga diancam dengan sanksi pidana dalam UU lain yang bersifat khusus, yang berlaku dalam UU yang lebih khusus tersebut.

Pasal 57
Tuntutan pidana berdasarkan UU ini merupakan delik aduan dan diajukan melalui peradilan pidana.

Simulasi Makan Siang di Tangerang, Menko Airlangga Hartarto

Program Makan Siang Gratis Prabowo-Gibran Butuh 6,7 Juta Ton Beras per Tahun

Program makan siang gratis yang diusung oleh Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka diperkirakan membutuhkan 6,7 juta ton beras per tahunnya.

img_title
VIVA.co.id
25 April 2024