Buru (XI)

VIVAnews - Barak 1 yang kepala baraknya Drs Paulus Hutahaean, alumnus MGU- Moskovskii Gosudarstwenii Universiteit, universitas terbaik di Moskwa atau bahkan terbaik di Uni Soviet, merupakan barak paling banyak dihuni sarjana dan orang-orang yang ”katanya” pernah punya jabatan lumayan sebelum ditahan. 

Di barak 1 ada 2 orang dokter, Azhar Soeroso Moenandar dan Sumerapi (yang kedua ini dokter muda), dua sarjana hukum, Tunggal dan Moeljono, ada sekian Doktorandus dari berbagai disiplin ilmu. Aldoko Soetrisno, Sobari Hartono, Prajitno, Coen Marjanto (dari Coenrad), Soemartojo (matematika, MGU), Harsono (ekonomi, Universitas Persahabatan Moskwa), Moeljoso (jurusan olahraga/pendidikan jasmani), Soewarno (ekonomi UI), dua orang insinyur pertanian, Rosidi yang alumnus dari salah satu universitas Australia dan insinyur teknik sipil Iskandar yang alumnus Peking (RRT). 

Dibanding dengan unit-unit lain, mungkin Unit XVI Indra Karya paling banyak menyimpan sarjana, karena disamping para sarjana di barak 1 masih ada Ir Kamal Uddin, Ir Mamad Sumadiredja dan Ir Gondosoemarmo (masing-masing insinyur mesin, elektro dan teknik sipil, semuanya di barak 7) dan saya sendiri di barak 8. 

Setelah alat-alat kerja tiba di Unit, para tapol sibuk mengasah parang, membuat gagang pacul (doran) termasuk menajamkan mata gergaji potong yang ukurannya besar. 

Parang yang kami terima dengan merk Diamond jelas buatan luar negeri (Tiongkok) dan ukurannya terlalu besar serta berat untuk lengan Indonesia. Di belakang hari, setelah ada pandai besi semua parang kami potong agar lebih pendek dan ringan. 

Alat-alat kerja ini setiap hari harus disetorkan ke gudang dan setiap pagi setelah apel di lapangan, kami bon untuk dipakai dalam tugas kerja. Menyimpan senjata tajam di dalam barak selain pisau dapur, merupakan larangan keras. 

Setiap orang merawat alat kerjanya sebaik mungkin dan memberi tanda agar tidak tertukar dengan alat kerja orang lain. Sore hari, sesudah kerja dan sebelum mandi di sungai bisa kita lihat kegiatan mengasah parang pada batu kali. 

Kami tugaskan setiap kelompok sebelum kembali ke barak agar mengisi tabung-tabung bambu dengan air untuk persediaan barak. Kalau sore, teman-teman pulang kerja selain membawa cangkul, beberapa orang menyandang tabung bambu seperti bazooka. 

Kalau pada hari-hari pertama kerja saya masih bertahan memakai sepatu bot yang saya bawa sejak dari Banten, lama kelamaan tidak bisa bertahan. Akhirnya sayapun ikut mayoritas teman-teman yang nyeker, tanpa alas kaki. 

Kami diperlakukan seperti transmigran dalam arti bahwa kami mendapat jatah beras dan ikan asin dari pemerintah untuk jangka waktu sampai delapan bulan. 

Jumlahnya tidak pernah dijelaskan berapa gram setiap orangnya. Pokoknya, setiap bulan ada korve ambil “bama” (bahan makanan) dari Air Madidi, termasuk lauk ikan asin. 

Setelah delapan bulan, kami sudah harus bisa menghidupi diri dari hasil yang kami tanam dan jatah beras beserta ikan asin dihentikan. Jatah beras yang kami terima jelas bermutu buruk, tetapi sedikit lebih baik dari apa yang kami terima di Banten. Tentang jumlah, jelas sudah banyak yang tercecer di jalan sejak dari Ambon (atau Jakarta) sampai ke barak. Jumlahnya jelas tidak bisa membuat perut kami kenyang. 

Lauk ikan asin idem, baik dalam arti jumlah atau mutunya. Bahkan pernah kami terima ikan asin yang sudah busuk dan banyak ulat. Tetapi bagi tapol tidak ada pilihan lain dan harus diterima serta dimakan.

Kalau malam, saya lihat beberapa orang di dapur barak berkerumun di sekeliling ikan asin yang busuk. Memilih yang baik untuk dimakan dan menyimpan sisanya. Besoknya, sisa yang disisihkan dipilih-pilih lagi yang baik untuk dimakan, sampai akhirnya ikan asin busuk itupun habis dilahap. Kalau melihat teman-teman berkerumun sekililing tungku malam hari, otak saya secara tidak sengaja membayangkan para gembel di Jakarta mengaduk-aduk tempat sampah untuk mencari sisa-sisa makanan. Tidak jauh beda! 

Pernah pada suatu saat beras jatah kami diganti dengan bulgur dan inipun harus kami makan, karena tidak ada pilihan lain. 

Begitu buruk dan rendahnya gizi makanan masuk ke tubuh kami, sementara sayuran sama sekali belum ada. Pada suatu saat kami melihat bahwa kaki beberapa teman tampak seper tibengkak. Di barak 8 saya lihat kaki Liong Hwa Ing begitu besar bengkaknya dan dokter Sumerapi bilang ada penyakit “kaki gajah” yang bisa berjangkit pada orang-orang yang sering keluar masuk rawa. Yang pasti, kami menderita penyakit beri-beri karena tidak ada asupan sayur serta vitamin. Saya sendiri merasakan betapa susahnya berjalan dengan kaki bengkak, tetapi bagi kami kan tidak mungkin minta istirahat dengan alasan sakit? 

Setelah sekian bulan di Buru, saya perhatikan pakaian teman-teman mulai jadi gombal yang rapuh dan mudah koyak. Bagaimana tidak, kalau dipakai setiap hari dan basah oleh keringat tetapi tidak pernah dicuci dengan sabun. Garam keringat pasti menggerogoti pakaian. Kalau sudah begitu, mau tidak mau terjadi tambal menambal baju. Mulai dari saku dibuka untuk menambal, sampai akhirnya lengan baju pun harus dikorbankan. 

Terciptalah pemandangan lucu. Tapol kurus ceking dengan baju kutung tambal sulam, tidak jauh beda dengan gembel sepanjang jalan di Jakarta! 

Berkurangnya bahan pakaian diperparah oleh kebiasaan para pencandu nikotin, mereka mulai merelakan pakaiannya ditukar dengan tembakau. Penduduk asli Buru yang tidak paham bahasa Indonesia kecuali beberapa orang, mulai melakukan pendekatan pada tapol yang haus tembakau. 

Dan terjadilah transaksi ekonomi dalam bentuknya yang paling primitif. Barter!

Warga Iran Kini Dapat Kembali Berangkat Umrah Setelah 9 Tahun, Hal Ini Jadi Penyebabnya
Ilustrasi kanker serviks.

Melahirkan Berulang Kali Dapat Menjadi Risiko Kanker Serviks, Benarkah?

Ibu hamil memiliki daya tahan tubuh yang lebih lemah sehingga membuat mereka lebih rentan terhadap penyakit kanker dan infeksi virus.

img_title
VIVA.co.id
24 April 2024