Nostalgia “Kota” Gondangdia

VIVAnews - Di dinding depan bangunan itu tertempel papan kayu bertuliskan ‘Mie Gondangdia’. Tak berpagar, bangunan bercat hijau itu berada satu meter dari tepi jalan RP Suroso, Jakarta Pusat. Letaknya di sisi kiri, hanya beberapa langkah ke utara dari lintasan layang kereta api Gondangdia.

Hampir setiap siang, silih berganti orang memadati ruang dalam bangunan itu. Di balik jendela dan pintu kayu yang selalu terbuka, sejumlah orang asyik menyumpit mie.

Bagi sebagian orang, datang ke warung mie itu tidak sekedar ingin menyantap makanan enak. Warung yang dirintis Toe Wah Seng dan Lim Kwi Fong 40 tahun lampau itu, ternyata mampu membangkitkan nostalgia. “Ini semacam klangenan tempo dulu. Zaman muda dulu suka ngumpul di sini,” ujar Pardi, 64 tahun, salah seorang pengunjung setia Mie Gondangdia.

Pada awal Orde Baru, Gondangdia memang cukup dikenal sebagai kawasan elit, tempat nongkrong-nya remaja kaya dan anak pejabat. Salah satu tempat yang paling diminati sebagai tempat ngumpul adalah Radio Godila. Lokasinya, tepat di seberang warung Mi Gondangdia.

Di sebelah warung mi, juga ada sekolah dansa yang selalu ramai dikunjungi para remaja gaul. Sayang, dua pusat tongkrongan remaja 1970-an dan sejumlah perumahan elit di kawasan itu, kini telah dilebur menjadi perkantoran.

Dalam catatan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kota Tua Museum Sejarah Jakarta, Gondangdia tergolong kawasan tua. Gondangdia merupakan pusat pemukiman elit yang mulai dikembangkan pada awal abad 20 oleh Gubernur Johannes Benedictus van Heutsz.

Awalnya, Gondangdia hanya rawa-rawa dan perkebunan yang berada di dalam kawasan elit Menteng, bersama Cikini dan Kebon Sirih. “Saat itu, dia (Heutsz) ingin ada kota di dalam kota,” kata Herry Hermawan, Ketua Pelaksana Harian Yayasan Masjid Cut Meutia, Gondangdia, Jakarta Pusat.

Van Heutsz kemudian menunjuk developer NV Bouwploeg untuk melanjutkan pembangunan kawasan Menteng ke arah Gondangdia. NV Bouwploeg yang juga mengampu pembangunan Menteng, saat itu berkantor di Masjid Cut Mutia.

Buku “Sejarah Perkembangan Kota Jakarta” yang diterbitkan Dinas Museum dan Pemugaran Provinsi DKI menyebut, kawasan Gondangdia mulai masuk peta Kota Jakarta pada 1920. Pengembangan ke wilayah Gondangdia ini melengkapi luas total kawasan Jakarta, kala itu, menjadi 8 juta meter persegi. Luas Jakarta saat ini sekitar 650 juta meter persegi.

Kawasan itu banyak ditumbuhi pohon gondang, pohon setinggi tujuh meteran dengan daun menyerupai daun jati. Nama Gondangdia pun diyakini Herry diadaptasi dari pohon gondang.
Herry mengaku masih menjumpai pohon gondang tumbuh di Gondangdia semasa ia kecil.

Dalam ingatannya, pohon gondang banyak ditemui di sekitar Jalan Palem, Menteng hingga Jalan Ridwan Rais, dekat Tugu Tani. “Masyarakat memanfaatkan daun pohon gondang untuk membungkus daging. Tapi sekarang sudah tidak ada sama sekali,” papar pria kelahiran tahun 1955 itu.

Meski Herry yakin nama Gondangdia berasal dari nama pohon, ternyata ada dua versi lain mengenai toponimi Gondangdia. Dalam salah satu versi yang dicatat Museum Sejarah Jakarta, Gondangdia berasal dari nama binatang air sejenis keong besar yang banyak berdiam di kawasan ini. Saking banyaknya, masyarakat lantas mengidentikkan kawasan ini dengan sebutan Gondang yang artinya keong besar.

Sedangkan versi ketiga, Gondangdia dikaitkan dengan seorang kyai bernama Kondang, yang cukup terkenal dan disegani masyarakat setempat. Akibatnya, masyarakat sering mengaitkan kawasan tersebut dengan nama sang kakek. Gondangdia diartikan sebagai kakek dia yang tersohor.

Kini, sebutan Gondangdia tidak lagi identik dengan pohon, keong atau Kyai Kondang. Menyusul kesuksesan Mie Gondangdia dan menjamurnya kedai-kedai makan, Gondangdia justru lekat dengan citra kawasan kuliner.

Penampilan Makin Sopan, Nikita Mirzani Ternyata Diawasi Rizky Irmansyah
Toko Alat Musik

Ekspansi Perusahaan Musik Terkemuka Asia Tenggara Diresmikan di Indonesia

Tujuan dari ekspansi ini adalah untuk meningkatkan pengalaman musik bagi para musisi di Indonesia.

img_title
VIVA.co.id
29 Maret 2024